foto: careernews.id |
Lepas dari itu semua, eksistensinya harus berwujud dengan ujung pada sebuah Mahkota: Buku. Sehebat apa pun dia, tanpa memiliki sebuah buku, bagi saya, ia akan lapuk ditelan waktu tanpa jejak.
Buku itulah Monumen Pemikiran diukir, dan gagasan-gagasan yang diyakininya sekuat tenaga terus diperjuangkan. Selaiknya seorang intelektual yang terus gelisah terhadap kondisi dan denyut nadi masyarakatnya dan bukan penghamba kekuasaan, seorang jurnalis memiliki posisi yang tetap netral tapi keberpihakannya jelas.(ingat: ada lho, intelektual tukang)
Intelektualitas tidak ditentukan berjajar gelar akademik, atau adanya segebok piala penghargaan. Tapi, kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan itulah yang menjadi ukuran dan orientasinya.
Buku yang saya maksudkan pun, bukanlah sekumpulan tulisan yang pernah dimuat, laporan-laporan yang pernah dilakukan dalam meliput suatu momen. Melainkan, BUKU yang dirancang sebagai ikhtiar menyetrukturkan ide-ide pembelaannya pada NILAI-NILAI KEMANUSIAAN itu.
Bukankah cukup banyak pakar dan akademisi yang berperan sebagai intelektual publik, tapi nyatanya tidak menulis buku. Saya justru terus menerus teringang dengan eksistensi seorang Sartono Kartodirdjo, yang serius dalam mengukir eksistensinya. Soedjatmoko yang kesejatian sebagai "kaum di atas langit" tak diragukan sekaligus menjejakkan pemikirannya di bumi.
Pembelaan terhadap kaum lemah, tentu saja, akhirnya harus berhadapan dengan kekuasaan. Di sinilah, pilar demokrasi itu berlaku: pers yang kritis pada kekuasaan dan tirani demokrasi.
Tapi, adakah seorang jurnalis mampu berperan seperti Salman Alfarisi atau Abi Dzar Alghifari, yang ber-uzlah dari kekuasaan dan bekerja sunyi tapi terus gelisah terhadap denyut nadi bangsanya?
Nah, bila dalam wujudnya sekelompok orang menyebut diri jurnalis (mereka menyebut diri wartawan) tapi nirkomitmen terhadap nilai-nilai kebenaran, nilai kemanusiaan, dan abai terhadap kaum mustadh'afin, serta mereka yang dipinggirkan dalam lajur sejarah, rasanya kok cukup banyak wajah berhias di depan kita. Bukan berhias di depan pengilon, mengaca diri untuk bersikap korektif, melainkan bersolek. Ya Bersolek di depan kekuasaan dan penguasa.**
(Riadi Ngasiran)
Komentar
Posting Komentar