Namun, di antara sekian banyak foto bersejarah, yang paling berkesan bagi saya adalah ketika Gus Dur sebagai seorang pemimpin 240 juta rakyat Indonesia mencium tangan KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati. Beliau, yang baru saja dilantik, langsung sowan ke Mbah Dullah sekaligus berziarah ke makam ulama oposisi yang hidup pada abad 18, Kiai Mutamakkin. Nama terakhir dipercaya sebagai waliyullah yang di kemudian hari menurunkan ulama-ulama di wilayah Pati, antara lain KH. MA. Sahal Mahfudz dan KH. Bisri Sjansuri.
Tak ada ekspresi berlebihan manakala Mbah Dullah, seorang hamilul Qur'an yang zuhud dan wira'i, menerima kabar kedatangan Gus Dur. Adapun Gus Dur datang melalui pintu belakang ndalem Mbah Dullah, melewati jemuran, kemudian menghampiri tuan rumah.
"Niki kulo, Durrahman, datang sebagai SANTRI," ujar Gus Dur sembari mencium tangan pamanda KH. MA. Sahal Mahfudz itu.
Ini yang bagi saya berkesan. Bisa saja GD sebagai presiden datang dengan iring-iringan para pengawal beberapa lusin. Bisa saja sebagai kepala negara beliau datang dengan kapasitas grandeur, besar dan agung, sesuai dengan citra seorang pemimpin Indonesia. Tidak, Gus Dur tidak bakal seperti itu. Beliau tetap bangga menjadi SANTRI, yang nyaris saja menolak memakai sepatu--dan merasa gatal-- karena lebih sering bersandal!
Sebagai pemimpin, Gus Dur mengulang kembali riwayat para raja Nusantara yang harus melepas kebesarannya, keagungannya, sebelum sowan ke seorang brahmana dan pertapa. Para raja yang tahu diri datang hanya dengan kediriannya saja, tanpa embel-embel statusnya, hanya berjubah polos nan kasar, datang menaiki gunung, menaklukkan bebukitan, sekadar menjumpai guru-guru spiritual. Meminta petunjuk mereka.
Gus Dur tahu betul bagaimana harus menghadapi ulama zuhud sekelas Mbah Dullah. Beliau mengulang kembali episode Harun Arrasyid yang diiringi mahapatihnya saat merendahkan diri sowan ke kediaman sufi agung, Imam Fudhail bin Iyadh, ketika pemimpin negara mendatangi ulama, bukan sebaliknya.
***
Sebagai santri, beliau mempromosikan pesantren dan pola pikir kiai melalui tulisan-tulisannya di Kompas, Suara Pembaruan, Prisma hingga Tempo. Di era 1970-an, kiai dan pesantren lebih banyak dipandang sinis oleh para muslim modernis dan Indonesianis. Melalui berbagai tulisan Gus Dur, citra tersebut dipatahkan. Beliau berusaha memperkenalkan mutiara-mutiara terpendam di pesantren: para kiai dengan corak pemikiran dan kelebihan masing-masing. Kolom tentang para kiai ini dimuat secara berkala di Tempo lalu dibukukan dengan judul "Kiai Nyentrik Membela Pemerintah". Adapun tulisan GD dengan ragam tema lebih luas dan beragam dikumpulkan di buku "Melawan Melalui Lelucon".
Melalui ulasan tentang para kiai, Gus Dur tampil sebagai seorang santri yang memperkenalkan (kembali) guru-gurunya ke khalayak ramai. Tulisan yang cerdas, cermat, menggelitik dan padat (sesuai standar Tempo).
Kelak, ketika menjadi presiden, GD tetap sebagai seorang berjiwa santri. Karena itu beliau enjoy saja mengundang para sahabatnya (tentu yang sudah jadi kiai) itu untuk datang ke istana negara. Karena jiwa santrinya yang melekat bersama dengan kepolosan-kepolosan yang tampak "ndeso" ini, Franz Magnis Suseno pernah heran melihat tumpukan beberapa kardus Sarimi berisi pakaian yang ada di sebelah ruang makan Istana Negara.
"Itu kardus isinnya pakaian siapa sih, kok ditumpuk begitu?" tanya pria kelahiran Jerman itu.
"Itu milik Presiden Gus Dur. Mau dibawa lawatan ke Tiongkok." kata seorang staf kepresidenan enteng.
Romo Magniz takjub sekaligus geleng-geleng: seorang kepala negara mengemas pakaiannya dalam kardus, persis orang mau mudik?
Hmmmm Gus Dur dilawan.
WAllahu A'lam
----
Oleh: Rijal Mumazziq Z
Pagerwojo, 21.15 WIB
Komentar
Posting Komentar