KH. Ahmad Dimyati, Pendiri Pesantren Mafazah Sindangkerta KBB

KH. Ahmad Dimyati, Pendiri Pesantren Mafazah Sindangkerta KBB

Dakwah.web.id ~ Berbicara tentang pesantren Mafazah, tentu tidak akan lepas dari sosok al-Muassis (sang pendiri) yang meletakan fondasi dasar dalam berdirinya pesantren tersebut. Oleh sebab itu, tulisan ini akan sedikit memberi gambaran kecil mengenai sosok KH. Ahmad Dimyati sang pendiri pesantren Mafazah, pesantren yang kini sudah berdiri lebih dari 70 tahun.

KH. AHMAD DIMYATI
Nama lengkap beliau adalah KH. Ahmad Dimyati, atau biasa disebut Mama Dimyati, atau juga disebut Mama Mafazah. Beliau lahir di suatu kampung yang kini lokasinya berada di Desa Pasirpogor Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat pada sekitar tahun 1910-an.

Beliau merupakan anak ke-3 dari 7 bersaudara yang lahir dari pasangan ayah bernama Bapak Tarip dan ibu bernama Umi Sar’ah. Diantara kakak Kandung beliau  adalah:

- Hj. Siti Maemunah
(Alm. dikuburkan di TPU Dungusgede)
- H. Hasan
(Alm. dikuburkan di TPU Dungusgede)

Sedangkan adik-adiknya adalah:
- KH. Mahmudin
(Alm. dikuburkan di pemakaman keluarga Mafazah)
- H. Sahya
(Alm. dikuburkan di TPU Dungusgede)
- KH. Suja’i
(Alm. dikuburkan di TPU Pangauban. Salah satu anak dari KH. Suja’i adalah KH. Asep Suja’i yang merupakan pemilik Pondok Pesantren Barokatul Haromain Plered Purwakarta dan juga merupakan ayah dari Niha Nihriroh, Juara 1 Pildacil 3 Lativi 2006)
-H. Syafi’i
(Alm. dikuburkan di TPU Dungusgede)

Dalam pejalanan hidupnya, KH. Ahmad Dimyati telah mengalami pernikahan sebanyak dua kali. Pada pernikahan pertama beliau mengalami perceraian dan tidak memiliki keturunan. Kemudian pada sekitar tahun 1945, beliau menikah lagi dengan seorang janda yang belum mempunyai anak dari pernikahan pertamanya, ia bernama Embu Hj. Siti Masitoh binti Aki Syahria, seorang perempuan asal kampung Lio Sindangkerta. Selanjutnya pasangan ini menjadi pasangan suami istri hingga akhir hayat.

Dari pernikahannya dengan Embu Hj. Siti Masitoh, KH. Ahmad Dimyati dikaruniai 13 orang anak.
 Diantaranya adalah:

- Burhan
(Meninggal waktu kecil)
- KH. Asep Hasanudin
(Sesepuh Pondok Pesantren Al-Huda Radio Cililin)
- KH. Aceng (Alm.)
- H. Daud
- Hj. Euis
- KH. Gufron Dimyati
- KH. Saepulloh
- Bpk. Dudun Sya’duloh
- Hj. Imas
- Ceu Neneng
(Meninggal waktu kecil)
- Hj. Toto Hasanah
- Ceu Maesaroh
(Meninggal waktu kecil)
- Hj. Neneng Nurlatipah

PENDIDIKAN

Ahmad Dimyati kecil merupakan sosok yang sederhana. Kesehariannya tidak lepas dari membantu pekerjaan-pekerjaan kedua orang tuanya. Berbeda dengan kakak dan adiknya, awalnya Ahmad Dimyati kecil tidak dimasukan ke pesantren. Bahkan ia tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana saudaranya yang lain.

Kesehariannya hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan sebagaimana warga desa pada umumnya, semisal menggarap sawah, mengurus ternak, mengolah kebun, dan lain sebagainya. Suatu ketika, Ahmad Dimyati kecil disuruh oleh ayahnya untuk menggiring kerbau-kerbau yang biasa dilepas di pesawahan untuk dibawa pulang. Saat itu hari sudah menjelang sore. Terlebih cuaca nampak mendung akan turun hujan.

Ahmad Dimyati mengalami kesulitan untuk menggiring kerbau-kerbaunya. Hingga ia banyak menghabiskan waktu, namun ia masih belum juga berhasil menggiring kerbau-kerbaunya. Pada akhirnya, sang ayah datang menyusul dan memarahi Ahmad Dimyati karena ketidakmampuannya menggiring kerbau. Kerbau-kerbaunya itu pun dipukul oleh sang ayah hingga berontak. Dalam suasana seperti itu, kerbau yang panik lantas menginjak kaki Ahmad Dimyati. Yang pada akhirnya beberapa jari kaki Ahmad Dimyati terputus akibat injakan kerbau.

Atas kejadian ini, Ahmad Dimyati merasa sedih. Ia menjadi banyak merenung dan berpikir ingin seperti saudara-saudaranya mengenyam pendidikan. Lantas ia pun memutuskan untuk kabur menuju pesantren tempat dimana kakaknya yang bernama Hasan mondok. Pesantren tersebut adalah pesantren Sukamanah Cibitung milik KH. Muhamad Ilyas (Mama Cibitung).

Beberpa kali Ahmad Dimyati diminta pulang oleh ayahnya. Namun ia enggan dan bersikukuh untuk tinggal di pesantren dengan berguru kepada KH. Muhammad Ilyas (Mama Cibitung). Dan pada akhirnya, kedua orang tuanya pun menyetujui. Inilah yang kemudian menjadi awal karir keilmuan KH. Ahmad Dimyati untuk memperdalam ilmu agama.

Dalam belajar ilmu agama, tidak banyak pesantren yang beliau singgahi. Namun ada dua pesantren yang cukup lama ia tinggali hingga bertahun-tahun sembari berkhidmah disana. Pertama, di Pesantren Cibitung berguru pada KH. Muhammad Ilyas (Mama Cibitung). Kedua, di pesantren Cijerah berguru pada KH. Muhammad Syafi’i (Mama Cijerah).

Kedekatan KH. Ahmad Dimyati dengan gurunya KH. Muhammad Ilyas Cibitung bisa dikatakan erat. Bahkan diceritakan beberapa kali KH. Muhammad Ilyas Cibitung berkunjung ke Pesantren Mafazah untuk menengok muridnya yang yang juga merintis jalan dakwah melalui pesantren.

Kini, pesantren Mafazah menjadi satu dari sekian rangkaian pesantren yang ada di wilayah Bandung Barat bagian selatan. Tak banyak yang berkembang dari bangunan serta kultur yang ada di Pondok Pesantren Mafazah dari semenjak didirikan. Dimana pesantren ini masih berusaha memegang teguh amanah dari sang pendiri, KH. Ahmad Dimyati untuk dapat menjaga ruh dan maruah pesantren diatas manhaj salafiyyah selagi mampu.

Pendidikan yang digarap di Pondok Pesantren Mafazah masih mengajarkan pendidikan agama islam melalui kitab-kitab kuning dan ilmu-ilmu salaf secara penuh. Tradisi keilmuan dibangun berdasarkan sanad kehati-hatian dalam pengaplikasannya.

Semoga Allah senantiasa merahamati, memberkahi, dan memudahkan niatan baik kita semua. Amiin.

Komentar