Dakwah.web.id - Perjuangan setengah jam menembus dua dinding pembatas menuju raudhah terbayar lunas dengan lokasi sholat berdampingan langsung dengan pusara sang Nabi. Di tempat ini ibadah di Raudhah sangat nyaman, dua puluh menit serasa sebentar banget. sebelum kemudian diminta keluar untuk bergantian dengan jamaah lain.
Usai beberapa raka'at sholat dan munajat, mataku menelisik menembus lubang-lubang kecil pada pagar besi berwarna hijau yang persis memagari pusara sang Nabi, berbatasan langsung dengan tiga pilar utama penyangga Raudhah. Pilar bersejarah itu dinamai masing-masing dengan Pilar As-Sarîr, menempel dengan jendela kamar Nabi dari arah selatan, tempat Nabi istirahat usai tahajud. Pilar Al-mahras tempat para Sahabat bergantian menjaga rumah Nabi. Pilar Al-wufûd, juga menempel dgn jendela kamar Nabi, tempat Nabi menerima tamu.
Dari lokasi ini pandanganku cukup jelas melihat pusara sang Nabi yang terbungkus permadani hijau penuh debu, di lantai sekitar makam, pemandangan kotor tak terawat lebih jelas lagi. Aku berupaya menemui Muthawwi', semacam polisi swasta di Masjid Nabawi yang kerap melontarkan kata bid'ah dan syirik, lalu bertanya mengapa makam sang Nabi yang mulia begitu kotor, ia hanya menggelengkan kepala, aku mendesaknya memberi jawaban, "Berapa kali dibersihkan dalam sehari?", "mungkin satu kali dlm sebulan bahkan lebih, tak terlalu pentinglah bertanya soal itu." Jawabnya, ini jawaban yg bikin darah mahabbahku mendidih. Apa? Sebulan sekali? Anda tahu setiap sudut dari masjid ini bahkan sampai ke toilet saja dibersihkan setiap detik, nyaris tak ada yang kotor dari masjid nabawi yang gemerlap ini? Petugas itu malah senyum2, setelah kudesak, ia hanya menjawab, "semua sudah ada bagiannya, bukan tanggung jawab saya".
Aku masih penasaran, tapi Askar segera memintaku keluar, nada bicaraku memang tinggi, seorang jamaah umroh asal Azerbaijan, yg belakangan kuketahui bernama Dr. Amir Nasir, alumni Al-azhar university, cairo, menarikku dan mengajakku berbincang; soal pusara sang Nabi.
Dr. Amir Nasir asal Azerbaijan bilang, bagi wahabiyyun, sang Nabi itu sudah lama mati, tak lagi penting, apalagi soal debu dan lantai pusara yang kotor, mereka tak menganggapnya ada, mahabbah kita kepada sang Nabi tidak akan pernah mereka fahami. Aku mengiyakan meski masih marah atas cara mereka menyepelekan pusara sang Nabi, tapi aku menyenangi obrolan dengan Dr. Amir Nasir, pada beberapa topik tentang Islam rahmatan lil'alamin kami sepakat dan sekaligus menolak cara kaum wahabiyyun yg menyepelekan syi'ar Islam seperti pusara sang Nabi. Hmmm, Aku lebih mengerti sekarang mengapa sebagian mereka ngotot membongkar maqam syarafal anam.
Dalam perbincangan jiwa seraya menatap kubah hijau di depan Masjid Nabawi, aku bergumam seandainya seluruh tenagaku diizinkan untuk membersihkan pusara sang Nabi, dengan segera kuucapkan labbaika yâ rasûlallâh, sami'tu wa atho'tu... Dan... Meskipun habis tenagaku dan bersih total semua ruangan pusara, masih tak akan membayar semua anugerah risalah yang beliau bawa.
Maafkan kami ya rasulallâh, bahkan untuk sekedar membersihkan rumahmu, kami tak diizinkan...
***
Oleh: KH. Nurul Huda Haem
(Santrinews.com)
Komentar
Posting Komentar