Dakwah.web.id ~ Cililin sebagai satu nama besar yang mewakili wilayah Bandung Barat bagian selatan memiliki banyak destinasi kultur, sejarah, dan kebudayaan yang perlu diugkapkan dan dipertegas kembali. Hal ini menjadi penting karena tidak banyak tulisan baik berupa hasil penelitian maupun opini yang menampilkan hal-hal tersebut. Dan tentu pada akhirnya ini akan menjadi permasalahan serius bagi generasi selanjutnya dalam memahami asal usul serta jati diri mereka dalam konteks kultur, sejarah, dan kebudayaan.
Disini, tim redaksi dakwah.web.id melalui satu diskusi yang dilakukan bersama PMII STAI Darul Falah dan Keluarga Mahasiswa Bandung Barat mendapat beberapa catatan-catatan penting yang menarik untuk diungkapkan. Salah satunya mengenai julukan "Cililin Kota Santri" yang sudah melakat untuk hampir sebagian besar daerah yang ada di wilayah Bandung Barat bagian selatan tersebut.
Julukan ini tentu sangat menarik. Sebab selain merupakan satu brand ekslusif yang dapat mengangkat pandangan positif masyarakat, juga pastinya memiliki nilai historis yang melatar belakangi bagaimana julukan tersebut bisa muncul dan menjadi satu kesepakatan tidak tertulis untuk masyarakat yang kebanyakan beraktifitas di bidang pertanian tersebut.
Jika kita cermati, "Cililin Kota Santri" terdiri dari tiga kata yang masing-masingnya adalah kata Cililin, Kota, dan Santri. Dan tentu ini perlu kita jabarkan terlebih dahulu untuk lebih mendekatkan pemetaan makna yang akan kita ungkap.
Kata "Cililin" saat ini adalah merupakan satu nama untuk desa atau kecamatan yang ada di Bandung Barat. Namun, jika berkaca pada sejarah, Cililin sebenarnya memiliki cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar desa atau kecamatan yang saat ini ada. Yakni hampir sebagian besar wilayah yang ada di Bandung Barat bagian selatan adalah bagian dari Cililin. Sebab dahulu Cililin merupakan satu kewedanaan yang cakupan wilayahnya meliputi Cihampelas, Sindangkerta, Cipongkor, Gunung Halu, dan wilayah lain yang berada di sekitarnya. Sehingga tidak jarang misalnya orang Sindangkerta, Gunung Halu, Cipongkor, atau wilayah sekitarnya dahulu bila ditanya dari mana asalnya terkadang mereka mengatakan Cililin sebagai asalnya. Karena memang daerah-daerah tersebut adalah bagian dari kewedanaan Cililin.
Terlebih asal muasal nama Cililin itu sendiri menurut Drs. Said Raksakusumah (Ketua jurusan sejarah FKIS IKIP Bandung, 1986) adalah bermula dari bahasa Belanda yakni "uit tuin lijn weg" atau "elina" yang berarti pembuatan jalan. Yang mana sekitar tahun 1840-1850 dilakukan pembuatan jalan yang membentang dari lokasi Kamp Kaca-kaca, Loji dan Tangsi Gununghalu untuk kebutuhan perkebunan. [1]
Sedangkan Kota Santri adalah istilah yang diberikan kepada kota-kota yang memiliki banyak pondok pesantren. [2]
Dari dua pengertian diatas kita dapat memahami bahwa Cililin adalah identitas yang mewakili masyarakat Bandung Barat di bagian selatan. Dimana Bandung Barat di bagian selatan memang dikenal memiliki banyak lembaga-lembaga pesantren, yang tak heran bila kemudian kita mengenal Cililin sebagai Kota Santri.
Dalam data Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat, saat ini terdapat lebih dari 450 pesantren yang ada di Bandung Barat. Dan kebanyakan pesantren tersebut tersebar di wilayah bagian selatan.
Adanya jumlah pesantren yang banyak tersebut juga tidak terlepas dari nilai historis serta dakwah islam masa lalu yang dibawa ke wilayah Cililin. Dimana dikatakan bahwa dakwah Islam di Cililin dikembangkan oleh salah seorang Ulama Sufi asal Banten bernama Muhammad Safii dan Syech Abdul Manaf.
Berikut ini saya salin tulisan dari bandungbaratkab.go.id yang menunjukan bahwa peranan dakwah islam sangat mempengaruhi kultur dan budaya masyarakat Cililin dan sekitarnya. Sehingga jati diri islam ahlussunnah wal jama'ah memang adalah pelopor peradaban Cililin yang saat ini dikenal ramah dan nyantri:
"Pengembangan Islam beserta kebudayaannya yaitu ketika Kesultanan Banten diperintahkan oleh Sultan Maulana Yusuf tahun 1568-1580, dan Kesultanan Cirebon pada waktu itu diperintahkan oleh Panembahan Ratu.
Ulama Keraton Banten yang pertama kali bermukim di daerah Cililin adalah Ulama Sufi (yang asalnya Ulama Pengembara). Yang bernama Muhammad Safii dan Syech Abdul Manaf. Kedua orang tersebut semula singgah di tempat yang nyaman sambil mengajarkan ajaran Islam. Nama tempat tersebut sampai sekarang diberi nama “Sindangkerta”. Sindang berarti berhenti Kerta berarti nyaman atau aman, yang sekarang telah menjadi Kecamatan Sindangkerta.
Dari tempat tersebut pindah kesebelah utara untuk meneruskan ajaran agama Islam. Kemudian singgah lagi di suatu tempat. Nama tempat yang baru ini diberi nama kampung Panaruban. Panaruban berasal dari takharub berarti mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Di Panaruban dimulailah mengajarkan agama Islam dengan melalui dzikir. Suara dzikir tersebut oleh masyarakat sekitarnya terdengar bergema dalam bahasa sunda “ ngagerendung”. Lama kelamaan kampung Panaruban berubah menjadi kampung Gerendung. Kata Gerendung ini bisa juga dari kata gerendeng dalam bahasa Sunda, yang berarti suara yang halus.
Kampung Gerendung makin lama makin ramai didatangi oleh para santri yang akan menuntut ilmu agama. Akhirnya berkumpullah para santri di kampung itu. Tempat berkumpulnya para santri tersebut dinamakan “Jenuk”. Jenuk berarti kumpul, yang dikenal dengan istilah Batur Jenuk Balarea artinya semuanya orang disini saudara. Sekarang nama kampung itu berubah menjadi Cijenuk hingga kini.
Perkembangan pesantren Cijenuk makin semarak terutama bila mengadakan peringatan Maulid Nabi. Macam-macam jenis makanan dihidangkan termasuk kue basah. Pembuatan kue basah berasal dari kampung sebelah utara Cijenuk sampai sekarang kampung tersebut diberi nama Citalem (Talem berarti wadah kue basah) Citalem sekarang menjadi sebuah Desa Pada waktu itu belum menggunakan peralatan hidangan makanan dari bahan-bahan hasil dari tekhnik industri seperti rantang, gelas kaca, dan cerek. Untuk mewadahi air minum, sayur daging, tuak enau (teres berarti lahang). Panerasan berarti tukang “nyadap”. Selalu mempergunakan “katung” yaitu lodong pendek. Katung yang lebih pendek lagi diberi nama “mangkok” atau “bekong”. Pembuatan katung ini dari suatu kampung yang terletak sebelah barat Cijenuk. Nama kampung ini sampai sekarang diberi nama “Cipongkor”. Pongkor artinya lodong pendek atau katung. Sekarang Cipongkor menjadi Kecamatan.
Lama kelamaan datang lagi seorang ulama Sufi dari Cikundul Cianjur. Orang ini berpangkat Wedana Dalem (Wedana Keraton). Sehingga kepada orang ini diberi julukan Eyang Sangga Wadana hingga kini. Yang akhirnya sangga wedana ikut bermukim di Cijenuk sampai orang tersebut mengakhiri hayatnya, dan dimakamkan di makam Cijenuk bersama atau berdekatan dengan makam Moh. Safii dan Syekh Abdul Manaf tersebut diatas. Para santri Cijenuk yang mandiri dapat menyebarkan Ajaran Islam diantaranya : Nayaganta mendirikan Pesantren di pinggiran Sungai Cipatik. Sampai sekarang tempat tersebut diberi nama Nunuk yang berarti berkumpul. Kemudian yang kedua adalah Nayaguna mendirikan pesantren di pinggiran Sungai Citarum. Tempat itu sekarang diberi nama Kampung Depok. “Depok” berarti pemukiman atau Padepokan. Adapun kampung pinggiran Sungai tersebut berkembang menjadi sebuah desa yang diberi nama Desa Citapen. Yang berasal dari kata Citepian. Yang ketiga adalah Nurasidi seorang penulis Al Quran. Orang tersebut mendirikan Pesantren Bongas terkenal dengan julukan “Ulama Bongas”. Setelah berakhir hayatnya dimakamkan di puncak bukit “Pasirpogor Cililin”. Yang ke empat dengan Julukan Dalem Kemuludan mendirikan Pesantren di Cinengah Gununghalu.
Sejak itulah orang Cililin mengenal perkampungan yang bernama Kampung Tipar, yang berarti perkampungan pinggiran huma. Kampung Sadang, berarti perkampungan pinggir sawah. Dungus yaitu bukit kecil ditengah sawah atau Bojong yaitu sawah di ujung bukit atau gunung.
Ketika Kewedanaan Rongga Cihampelas dipimpin oleh Raksanagara I, datanglah perintah dari Regent Resident Priangan untuk membuat jalan perkebunan. Sebab daerah Karanggan atau Kewedanaan Rongga akan dijadikan objek kebun kopi dalam rangka pelaksanaan Cultuurstelsel. Yang akan mengambil lokasi di daerah : Kaca-kaca, Loji, dan Tangsi – Gununghalu. Pemerintah membuat jalan dalam bahasa Belanda adalah ; “Uit Tuin Lijn Weg”. Perintah ini terjadi dalam tahun 1840. pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke 46. Carel Sirardus Willem graaf van Hogendorp memerintah antara tahun 1840-1841. Sepuluh tahun kemudian pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke 49. Jan Jacob Rochussen memerintah antara tahun 1845-1851, ternyata pembuatan jalan “Elinan” ini sangat memuaskan Pemerintah Hindia Belanda ( “ Elinan ” adalah istilah orang – orang Cililin jaman lakon gawe ngebon kopi nyaniri tempo dulu ). Oleh karena keberhasilan tersebut maka Resident Priangan atas nama Koningklijck Nederland Indie, menganugrahkan tanda jasa berupa Piagam Perunggu., yang bergaris tengah 20 cm, kepada Raksanagara I. Piagam ini berbunyi sebagai berikut :
“Priango, 20 September 1850,-
Handvest.
Boven Open namens van in opdracht, geven tegen die zich verdienstelijk maken Uit Tuin lijin Weg.
Mc. Van Huender,-
Resident-Priango.”
Yang artinya sebagai berikut :
Priangan, 20 September 1850.-
Piagam Penghargaan
Atas nama Pemerintah, diberikan kepada yang berjasa membuat jalan lurus penghubung jalan perkebunan.
Mc. Van Huender,-
Resident-Priangan.”
Dengan adanya kata-kata “Uit Tuin Lijn Weg” inilah Drs. Said Raksakusumah, Ketua Jurusan Sejarah, FKIS IKIP Bandung, ketika mengadakan Penelitian di daerah kewedanan cililin tahun 1968, berkesimpulan bahwa nama “Cililin” diambil dari kata-kata “Uit Tuin Lijn Weg” tersebut."
***
Sumber:
[1]
[2]
[3]
Dikutip dan dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Rifkiyal Robani, S.Pd.I.
Komentar
Posting Komentar