Esok, Putriku Menikah
Oleh: Mardian Alisyaban Hidayat
***“Abi yakin belum mau balik sekarang?” tanya istriku sambil merapikan alat shalat yang baru saja ia gunakan.
“Iya. Ummi duluan saja. Abi masih ingin di Musholla,” jawabku.
“Oh. Baiklah, kalau begitu Ummi duluan. Ummi mau menemani Fitri di kamarnya," kayanya.
Malam ini sungguh berbeda. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa seusai shalat isya berjama’ah barusan, aku merasa seperti tidak biasa. Seperti ada sesuatu yang membuat hatiku gusar. Pedahal, harusnya malam ini aku berbahagia. Karena esok, putriku, Fitriani Inandah akan menikah. Itu berarti salah satu tanggung jawabku sebagai seorang ayah telah tuntas. Namun entah mengapa perasaan gelisah masih saja menghantuiku.
Beda dengan apa yang ditunjukan Nurul, istriku. Ia nampak lebih tegar menghadapi moment ini. Jika dibandingkan aku, ia lebih sanggup menguatkan diri. Ia senantiasa berusaha tersenyum. Pedahal beberapa hari ini ia pasti kelelahan karena sibuk mempersiapkan walimah putri kesayangan.
***
Setengah jam berlalu, sejenak mengamati sekeliling Mushola. Entah mengapa, semakin lama aku berada di Mushola ini, rasanya pikiran dan hatiku malah semakin melankolis. Suasananya mengantarkan aku pada berbagai kenangan dengan putriku. Ya, di Mushala ini. Di Mushola yang letaknya tepat kubangun bersebelahan dengan rumah. Mushola yang kubangun dan kudedikasikan untuk putriku, sehingga kunamakan Mushala al-Fitri. Mushala kecil yang begitu memesonaku. Bukan karena hiasan kaligrafinya yang indah, namun ada kenangan manis di dalamnya.
***
Dalam hening, mataku tertuju pada satu sudut di dekat mimbar. Kulihat ada sebuah mukena kecil. Mendadak bayang-bayang kenangan sekitar 20 tahun lalu tersirat di benaku. Kenangan-kenangan saat dimana putriku masih sesosok anak kecil yang polos.
Aku teringat suara merdunya ketika ia masih belajar Iqro jilid dua. Saat ia masih terbata-bata membaca. Dan aku pun masih ingat raut wajahnya yang girang saat mulai beranjak melanjutkan bcaan ke Iqro tiga.
“Abi, ‘Ba’ sama ‘Ta’ nya disambungin ya, Bi? Lucu, hihi....” ujarnya dengan senyum mungil yang masih bisa kubayangkan lucunya.
“Nah, udah siapkan naik Iqra Tiga?” tanyaku.
Saat itu putriku terdiam. Kulihat ada keraguan di matanya.
“Nih, Abi punya coklat untuk hadiahnya, ” rayuku.
“Wuah, siap atuh Bi! Tapi nanti setelah sholat isya yah , Bi” jawabnya penuh semangat.
“Hhmm tapi jadwal mengajinya kan cuma sampai waktu Isya?”
Putriku tak menjawab, hanya tersenyum malu. Aku pun tak meminta jawaban darinya. Aku cukup bangga dan kagum dengan putriku yang bisa menyelesaikan Iqro Dua dan kini naik tingkat ke Iqro Tiga. Meski mungkin salah satu alasannya mau naik tingkat lantaran coklat yang akan kuberikan.
Saat itu, setelah shalat aku selesai badiah Isya, putriku sudah di luar Mushalla lalu mengacungkan coklat yang kuberikan sembari berteriak, “Abi, Neng janji besok Neng baca Iqra Tiga sampe selesai! Makasih ya Bi, coklatnya!” teriaknya saat itu sambil berlari, tepatnya kabur.
***
Di sebelah lemari mukena, kulihat ada buku Iqro yang biasa dipakai putriku dulu. Nampak masih ada dan tersimpan rapih. Entah kenapa aku lantas ingin membukanya, ingin membacanya. Kulihat di halaman pertama ada nama putriku. Ditulis dengan tulisan anak kecil yang khas.
Kubuka halaman demi halaman buku Iqro yang sedang kupegang. Iqra 1, 2, 3, dan 4. Sampai di halaman Iqra Lima kulihat lembaran paling kusam dan lecek dibanding Iqro jilid lain . Iqro Lima ini memang memakan waktu lebih lama untuk ia pelajari.
Kubuka setiap lembarnya. Sungguh mengejutkan, terdapat banyak tulisan dan lebih tepatnya “coretan” di setiap halamannya. Memang selain buku Iqro, aku juga menyiapkan pensil dan buku tulis agar ia mencatat setiap pelajaran yang kuberikan. Aku baru sadar ada tulisan-tulisan itu di Iqronya setelah bertahun-tahun berlalu.
“Ngantuk”, “cape”, “pengen liat film Pokemon”, itulah diantara tulisan putriku dalam Iqra yang biasa ia pakai mengaji.
Dan ada satu yang cukup menggelitik. Kulihat di halaman terakhir terdapat gambar wanita berkerudung. Awalnya kukira itu Umminya, tetapi setelah kupikir-pikir sepertinya bukan.
"Umminya kan nggak pake kacamata? Hmm, siapa sebenarnya wanita ini?" bingungku dalam hati.
Namun aku sadar ternyata terdapat keterangan di bawah gambar tersebut: “Abi lucu euy, kalo pake kerudung”.
Aku teringat kisah Iqro 6. Kelas 1 SD Fitri sudah menyelesaikan Iqro 5 dengan perjuangan yang sangat keras. Aku yakin, Ia tak akan kesulitan untuk melewati iqra 6 dalam satu malam.
“Neng, Abi punya hadiah!” kataku
“Hadiah apa Abi? Asiiiiik…..” Ia sangat bersemangat kegirangan.
“Kemarin kan Neng dah lancar iqra 5, nah kalo Neng tamat iqro 6 sekarang, Abi kasih sepeda, Neng kan pernah bilang pengen punya sepeda , ” kataku
Namun tiba-tiba ia menangis dan memelukku.
“Abi…, maafin Neng, Abi...” katanya sambil tersedu.
“Neng kenapa? Gak mau sepeda? Atau mau apa?” tanyaku.
“Bukan Abi, Neng pengen banget sepeda....” tuturnya
“Oh... terus Neng kenapa nangis? Pengen yang kaya Ica yah, yang roda dua? Ntar Abi beliin deh kalau Neng dah kelas 3 atau 4, sekarang Neng kan belum nyampe kakinya,” ucapku menenangkan nya
“Bukan Abi, bukaaan!” tangisnya semakin kencang.
Aku bingung dan hanya mampu memeluknya erat. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada putri tercintaku ini. Fitri melepaskan pelukannya perlahan.
“Abi, Neng minta maaf!” tuturnya sedu sedan.
“Sudah Abi maafin ko! Emang kenapa Neng?” tanyaku.
“Iqro 6 Abi!” katanya.
“Kenapa Iqro 6?” tanyaku penasaran.
“Buku iqro 6 nya tadi sengaja Neng kasih ke temen di sekolah....”
Aku melihat air mata membasahi pipi merah nya . Mendengar penjelasanya sambil terisak membuat air mata ku menggenang di pelupuk mata .
“Oh kirain Abi ngelakuin salah sama Neng, jadi Neng nangis!” ucapku, “memangnya kenapa dikasih? Temen Neng lagi butuh banget ya? Baik sekali sih putri Abi ni” lanjutku sambil memeluknya .
“Neng tau, malam ini Abi bakalan nyuruh lanjutin baca iqra 6, Neng males, pengen libur dulu. Sekolah juga kan kalo dah naik kelas libur dulu , Bi,” rayunya.
“Oh jadi Neng pengen libur dulu yah? Oke deh Abi kasih libur 3 hari , ” kataku.
“Serius Abi?”
“Iya dong, apa sih yang nggak buat Putri Abi! Tapi ada syaratnya...."
"Apa Bi?"
"Peluk Abi dulu....”
Putriku langsung memelukku dan aku pun memeluknya erat.
“Oh iya besok kan ngajinya libur, Neng mau nggak besok anter Abi?” tanyaku
“Kemana Abi?”
“Ke rumah temen Eneng, yang Neng kasih iqra 6!”
“Abi mau ngapain?”
“Nganterin sepeda yang ada di kamar Eneng.”
“Hah, emang sepedanya dah ada di kamar Neng, Abi?” tanyanya terkejut.
“Iya dong, kan Abi beli sepeda buat yang tamat iqro 6?” aku menggoda.
“Jangan Abi jangan, besok Neng minta lagi deh iqra 6 nya!” putriku pun bereaksi.
“Tidak baik lho, minta balik sesuatu yang udah kita kasih?” jawabku dengan tenang.
Malam itu putriku terlihat kebingungan dan menyesali perbuatannya. Terlihat ia sangat berpikir keras mencari solusi. Namun sengaja aku berbuat demikian agar ia belajar atas permasalahan ini.
“Abi, kemarin Neng lihat-lihat dulu tulisan iqro 6, tulisannya mirip Qur’an Bi.”
“Terus?” kataku.
“Gimana kalo Neng coba belajar baca Qur’an, Bi?"
“Yakin?”
“Tapi sepedanya buat Neng ya Bi? Neng janji gak males lagi Bi.”
“Boleh kok sepedanya buat Neng, tapi ada syaratnya lagi."
"Syaratnya apa, Bi?"
"Peluk Abi dulu....”
***
Pekerjaanku sebagai seorang Guru Sekolah Dasar di daerah membuatku memiliki waktu lebih banyak dibanding pekerja kantoran di kota-kota besar pada umumnya. Waktu luang itu kumanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga. Setiap perkembangan Fitri dapat langsung kulihat dengan mataku sendiri.
Namun tepat ketika Fitri beranjak remaja, aku diberikan amanah baru sebagai kepala Sekolah di wilayah lain. Aku dituntut untuk lebih banyak bekerja di lapangan serta menghabiskan waktu yang lebih singkat untuk berkumpul dengan keluarga. Aku merasa sangat khawatir atas masa remaja Fitri, apalagi seiring perkembangan jaman serta akulturasi budaya barat yang mulai tidak bisa dibendung.
Saat Fitri beranjak SMA aku mulai memberikan kepercayaan kepada Fitri menggunakan ponsel. Selain untuk kebutuhan komunikasi dengan teman-temannya, juga untuk memudahkanku berkomunikasi ketika harus dinas keluar kota, walau hanya sebatas menyapa “Selamat Pagi, sayangku!”
Meski sering dinas keluar kota, aku tetap memperhatikan masa-masa remaja Fitri. Pernah satu hari aku sangat khawatir. Saat aku libur atau tidak ada dinas luar kota, kudapati Fitri sedang ditelepon seorang lelaki, mungkin bisa sampai tiga kali dalam sehari ia menerima telepon dari orang yang sama. Dan ketika sabtu atau minggu seorang lelaki sudah berani datang ke rumah untuk menemui Fitri. Fitri sempat marah ketika aku memasang wajah paling cuek dan dingin saat teman lelakinya main ke rumah. Bukan bermaksud untuk membatasinya berteman, namun aku ingin lebih tahu dengan siapa ia berteman.
Saat ia duduk di bangku kuliah semester tujuh, aku mulai memberinya kepercayaan lebih dan melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untuknya.
“Neng, pulangnya jangan terlalu malam ya? Magrib sudah sampai dirumah.” Kataku
“Acaranya kan jam habis Ashar Abi, belum dihitung ngaretnya tuh! Paling juga mulai jam lima nya. Belum kepotong sama sholat magrib juga, jadi gak kan cukup Bi kalo Maghrib” jawabnya nada merayu.
“Oke, setengah delapan sudah dirumah. Ingat, Abi minta no HP temen Neng, Silvi. Neng berangkatnya sama Silvi kan? Neng juga aktifin HPnya jangan sampai lowbatt” dengan wajah agak cuek, Aku mengingatkan.
“Baik abi, ini nomor HP Silvi. Neng berangkat dulu ya Abi, Assalamu’alaikum…” Ia pun bersalaman dan pamit.
Selesai shalat Maghrib Aku mencoba meminta Umminya Fitri untuk menghubungi Fitri.
“Neng masih sama teman-temannya Bi, tadi kayanya lagi pada ngobrol deh..” ucap Istriku.
“Alhamdulillah, terdengar suara laki-laki gak Mi? atau sama siapa saja disananya? Ummi ingetin kan kalo Neng jangan pulang larut?” aku pun merasa cukup lega namun masih tetap terdapat rasa khawatir.
“Iya Bi, Ummi ingetin ko! Sudah Shalat Isya disana Neng langsung pulang” jawab Istriku.
Jawaban Istriku tidak memuaskan pertanyaanku. Aku merasa ada yang Ia tutupi tentang Fitri.
Pukul delapan malam Fitri belum pulang. Aku menunggu di ruang depan dengan perasaan sangat khawatir. Terlebih setelah Fitri mengirim pesan untuk menghubungi Silvi kalo hendak telepon atau menanyakan kabar karena HP Fitri lowbatt .
20.30 WIB aku mencoba menghubungi Silvi, namun informasi yang kudapat, Fitri sudah pulang sejak satu jam lalu. Hatiku semakin tidak tenang. Aku duduk di teras depan menunggu dengan perasaan yang kusut, campur aduk antara gelisah, khawatir dan kecewa.
Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut-larut, Ia pulang dengan seorang lelaki. Entah apa yang merasuki tubuh ini. Tanpa mendengar apa yang hendak Fitri jelaskan, Aku langsung memarahinya dan menyuruhnya untuk masuk ke kamar. Fitri pun marah pula padaku, dan masuk ke kamar dengan membanting pintu.
Bagiku, Fitri itu sangat berharga, sangat luar biasa berharga. Dan yang Aku tahu hanya ingin melindungi Fitri dan memastikan bahwa ia sekarang sudah berada dalam pengawasanku kembali, walaupun dalam keadaan menangis di kamarnya. Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Ummimu.
Tahukah kamu Fitri, bahwa saat itu Abi memejamkan mata dan menahan gejolak dalam batin ini.
***
Adalah Amri, lelaki yang mengantar Fitri malam itu. Dia lah lelaki yang dengan penuh percaya diri dan berani meminta izin untuk mengenal Fitri lebih jauh. Tidak mudah bagiku untuk memberi izin walaupun Aku tahu dia yang baik dan shaleh. Orang tuanya merupakan orang terpandang, dan Aku pun mengenalnya walaupun tidak terlalu akrab. Malam itu Amri pulang bekerja, dan dia diminta oleh Silvi adiknya, untuk mengantar Fitri pulang.
Yang Aku ketahui, Amri adalah pemuda yang pekerja keras. Ia merupakan pengusaha dalam bidang budidaya ikan lele. Omsetnya cukup besar bagi seorang pengusaha pemula seperti dia. Ayahnya bekerja sebagai PNS di Pemerintahan Daerah Provinsi. Sempat Aku tanyakan kepada Silvi, mengapa Amri tidak mengikuti pekerjaan ayahnya sebagai seorang PNS. Padahal, menurutku tak kan sulit baginya, mengingat Ayahnya yang memiliki posisi strategis di Pemda.
Silvi mengatakan, selama masih dapat berusaha sendiri, kakaknya itu tidak mau bergantung kepada orang lain, termasuk ayahnya. Cukup do'a restu yang ia harapkan dari orang tuanya. Alasannya memang sederhana, namun terasa luarbiasa bagiku.
Terkadang, aku menguping dan mengintip saat Fitri dengan Amri mengobrol di ruang tamu.. Jujur, Aku cemburu melihat putri cantikku dapat tersenyum dengan lelaki lain. Walaupun Silvi senantiasa menemani Amri ketika mengobrol dengan Fitri.
Mungkin Amri lah lelaki yang akan menggantikan posisiku sebagai imam dan penanggungjawab Fitri kelak. Esok, aku akan meyakinkan diri untuk menitipkan putriku, Fitriani Inandah kepada seorang lelaki, Muhammad Amri, calon menantuku. Bismillah.
***
“Abi, bangun Abi! Sudah mau waktu Shubuh” Fitri membangunkanku.
“astagfirulloh, Abi ketiduran semalam. Jam berapa sekarang?” tanyaku.
“setengah empat Abi,” jawab Fitri.
Sebelum melaksanakan shalat subuh, Aku beserta Istriku mengecek kembali kesiapan acara pernikahan. Dari mulai memastikan gedung pernikahan, kateringnya, serta kesiapan transportasi untuk sanak saudara serta tetangga dari sekitar rumah. Hal ini Aku pastikan kesiapannya agar dapat lebih tenang bermunajat, untuk dimudahkan segalanya dalam sujud Subuhku.
Selesai shalat subuh, istri serta putriku melanjutkan dzikir seperti biasanya. Akupun demikian. Bedanya dari mereka, dzkirku diiringi air mata yang secara tiba-tiba berjatuhan.
Belum selesai dzikir, Aku pun tak kuasa untuk menahan air mata. Aku membalikkan badan, dan kupeluk dua bidadariku dengan erat.Aku bisikkan sebait do’a kepada Fitri,
“Ya Allah, ya Tuhanku, Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita dewasa yang cantik..
Bahagiakanlah Ia bersama suaminya”
جَمَعَ اللهُ شَمْلَكُمَا، وَأَسْعَدَ جَدَّكُمَا، وَبَارِكْ عَلَيْكُمَا، وَأَخْرَجَ مِنْكُمَا كَثِيراً طَيِّبًا
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalIan berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” - Doa Nabi saw saat Menikahkan Puterinya Fatimah Az-Zahra’ (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4). Riwayat hadis ini bersumber dari Anas bin Malik, salah seorang sahabat Nabi saw.***
TENTANG PENULIS
Mardian Alisyaban Hidayat, lahir di Bandung pada 28 Maret. Pria yang saat ini bekerja di salah satu Bank ternama ini merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Huda Radio Cililin. Selain hobi menulis ia pun merupakan salah satu pencinta alam yang sering kali melakukan aktivitas pendakian. Penulis bisa dihubungi melalui mardianaly@gmail.com
Komentar
Posting Komentar