Dakwah.web.id - Pernah di suatu waktu saya bekerja di Perusahaan Nedloyd di kawasan Berlin yang agak sepi. Disitu saya bekerja dengan orang-orang Muslim Syiah dari Lebanon dan Iran, serta Muslim Sunni dari Yordania dan saya sendiri dari Indonesia tentunya. Sedangkan para pimpinan perusahaan adalah orang Jerman asli. Kerja disitu sangatlah meletihkan hingga biasanya teman-teman dari Indonesia jarang sekali yang mau bertahan lama kerja di perusahaan itu.
Nah, suatu ketika saya merasa ada yang janggal dengan pekerjaan saya. Hasil kerja pengepakan barang saya selalu berkurang hingga saya seringkali dimarahi oleh pengawas pekerja. Setelah saya selidiki ternyata saya sedang dikerjain oleh teman kerja saya yakni Ali dan Husein yang Syiah dan dari Lebanon itu. Saya kemudian memperingatkannya agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Tetapi rupanya mereka terus melanjutkan aksinya, hingga saya marah. Merekapun tidak terimah dan menantang saya duel. Ali ahli Kick Boxer sedangkan Husein ahli beladiri yang entah apa namanya saya lupa. Mereka berdua adalah mantan Mujahidin Hizbullah (Hezbollah) yang sudah beberapa kali terlibat dalam perang, dan saya sama sekali tidak gentar sedikitpun karena saya juga pernah berlatih Ilmu Beladiri di Pesantren Tebuireng. Hehe...
"Kami orang Syiah, kami terbiasa berperang di Lebanon, sedangkan kau orang Sunni yang biasanya hidupnya manja dan menetek pada Amerika. Jangan macam-macam dengan kami !". Teriak Husein sambil menghunuskan pisau di hadapan saya. Saya pun berteriak;"Saya orang Indonesia, saya sudah mewarisi ilmu perang dari nenek moyang kami yang berperang melawan penjajah selama berabad-abad. Saya sama sekali tidak gentar menghadapi kalian ! Majulah dan akan saya hajar kalian !". Teman-teman saya (Khalid dan satu lagi lupa namanya) yang sama-sama Muslim Sunni namun berasal dari Yordania melihat kami dengan perasaan tegang. Begitupun dengan teman saya, Simin perempuan cantik nan anggun dari Iran yang menganut Syiah terus memperhatikan pertengkaran mulut kami.
Ali dan Husein memiliki tubuh yang tinggi besar dan kekar, merekapun ahli beladiri dan terbiasa berperang. Sedangkan saat itu saya masih terlampau muda, baru satu tahun tamat sekolah SMA dan langsung melanjutkan study ke Berlin. "Wah, kalau saya dikeroyok dua mantan tentara Lebanon gini saya bisa terdesak dan banyak mengalami luka, jika bukan pada akhirnya saya kalah. Saya harus segera mencari siasat !". Gumam saya dalam batin. Saya tiba-tiba melihat tumpukan kemasan barang yang berat dan tinggi sekitar 6 m. Tumpukan barang itu agak miring yang kalau saya tendang dengan kekuatan penuh barang itu akan roboh dan jika terkena orang di bawahnya kemungkinan besar akan mati.
Beberapa saat kemudian saya giring Ali dan Husein ke dekat tumpukan barang itu, namun tiba-tiba Simin perempuan Syiah Iran yang cantik nan anggun itu mendekati kami. Simin meminta Ali dan Husein untuk tidak melanjutkan pertengkarannya dengan saya. Ia lalu mengingatkan bahwa sesama muslim adalah ibarat jari jemari tangan yang satu sama lain saling terkait. Satu jari terpotong maka jari lainnya akan merasa kesakitan. Sesama muslim itu bersaudara.
Ali dan Husein tersadarkan diri, mereka menatap mata saya dalam-dalam lalu membuang pisau belatinya dan merangkul saya. Mereka satu persatu meminta maaf pada saya sambil menitikkan air mata. "Badanmu tidak sebesar kami, namun nyalimu besar. Saya tak mengira ternyata orang Sunni juga pemberani. Tahukah kamu saudaraku, sesungguhnya ketika mata kami melihatmu yang kami lihat adalah orang Sunni yang selama ini berkiblat pada Arab Saudi. Kalian selalu bilang kita semua sesama muslim adalah bersaudara, namun kalian selalu membiarkan bahkan mengganggu kami saat berperang melawan Israel. Karena itulah kami sangat membenci orang Sunni sepertimu. Namun detik ini kami menyaksikan keberanianmu. Keberanian seorang pemuda Indonesia yang jelas sangat berbeda dengan para pengecut dari Saudi Arabia. Kau seharusnya bersama kami melawan Israel di Palestina ! Maafkan kami saudaraku". Ali mengakhiri kata-katanya.
Waktu istirahat siang pun datang dan mereka meminta saya untuk menjadi imam Sholat Dluhur. Di waktu ashar pun demikian, kami sholat berjamaah, bedanya kali ini Ali yang kami tunjuk sebagai imam Sholat Ashar. Saya dan teman-teman dari Yordania yang Sunni, serta Husein dari Lebanon dan Simin dari Iran yang Syiah pun sholat berjamaah dengan tertib. Tak ada sedikitpun perbedaan tatacara sholat disana. Al Quran yang selalu dibawa Simin, Ali dan Husein yang Syiah, ternyata juga sama dengan Al Quran yang saya dan Khalid serta teman lainnya dari Yordania yang Sunni bawa. Tidak ada perbedaan apapun.
Hari berganti hari, dan saya semakin tertantang untuk mengenali lebih jauh kehidupan orang-orang Syiah. Setiap hari Jumat, saya yang biasanya sholat di Masjid komunitas Mahasiswa Indonesia mulai berganti-ganti tempat. Kadang saya Sholat di Masjid Sunni kadang saya Sholat di Masjid Syiah. Saya dan orang-orang Syiah suka berteman dan ngaji Al Quran bareng, tak ada bedanya dengan Sunni, kecuali sholat sunnah orang Syiah yang saya anggap terlalu banyak rakaatnya. Namun jika sholat wajib tak ada bedanya.
Dan ini kisah yang terpenting dan teringat selamanya hingga kini: Suatu ketika saya sholat di Masjid Turki, Mevlana Mosche namanya. Saat saya mengakhiri sholat saya melihat Simin, perempuan Syiah Iran yang mengamati saya dari jauh. Rupanya ia habis pulang kuliah dan mampir sholat ke Masjid. Kamipun bertemu kembali dan bertukar cerita dengannya hingga langit Berlin gelap gulita. Katanya:"Dulu saya ketika kecil hidup harmonis dengan keluarga secara lengkap. Kami makan bersama setelah sholat Maghrib. Namun tiba-tiba rumah kami dirudal pesawat tempur Israel. Ayah, ibu, kakak dan adik saya mati syahid, hingga saya diurus Pemerintah Iran dan disekolahkan hingga sekarang. Saya kalau melihat Saiful, saya jadi teringat kakak saya".
Saya terharu dengan kisahnya, dan saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa jika saya pulang ke Indonesia saya akan menjadikan cindera mata persahabatan saya dengan Muslimah Iran (Simin) ini, sebagai spirit untuk mempersatukan sahabat-sahabat saya yang masih mempertentangkan Islam Sunni dan Syiah. Kita semua bersaudara... Wallahu a'lam bissawab...Wassalam...(Saiful Huda E).
Nah, suatu ketika saya merasa ada yang janggal dengan pekerjaan saya. Hasil kerja pengepakan barang saya selalu berkurang hingga saya seringkali dimarahi oleh pengawas pekerja. Setelah saya selidiki ternyata saya sedang dikerjain oleh teman kerja saya yakni Ali dan Husein yang Syiah dan dari Lebanon itu. Saya kemudian memperingatkannya agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Tetapi rupanya mereka terus melanjutkan aksinya, hingga saya marah. Merekapun tidak terimah dan menantang saya duel. Ali ahli Kick Boxer sedangkan Husein ahli beladiri yang entah apa namanya saya lupa. Mereka berdua adalah mantan Mujahidin Hizbullah (Hezbollah) yang sudah beberapa kali terlibat dalam perang, dan saya sama sekali tidak gentar sedikitpun karena saya juga pernah berlatih Ilmu Beladiri di Pesantren Tebuireng. Hehe...
"Kami orang Syiah, kami terbiasa berperang di Lebanon, sedangkan kau orang Sunni yang biasanya hidupnya manja dan menetek pada Amerika. Jangan macam-macam dengan kami !". Teriak Husein sambil menghunuskan pisau di hadapan saya. Saya pun berteriak;"Saya orang Indonesia, saya sudah mewarisi ilmu perang dari nenek moyang kami yang berperang melawan penjajah selama berabad-abad. Saya sama sekali tidak gentar menghadapi kalian ! Majulah dan akan saya hajar kalian !". Teman-teman saya (Khalid dan satu lagi lupa namanya) yang sama-sama Muslim Sunni namun berasal dari Yordania melihat kami dengan perasaan tegang. Begitupun dengan teman saya, Simin perempuan cantik nan anggun dari Iran yang menganut Syiah terus memperhatikan pertengkaran mulut kami.
Ali dan Husein memiliki tubuh yang tinggi besar dan kekar, merekapun ahli beladiri dan terbiasa berperang. Sedangkan saat itu saya masih terlampau muda, baru satu tahun tamat sekolah SMA dan langsung melanjutkan study ke Berlin. "Wah, kalau saya dikeroyok dua mantan tentara Lebanon gini saya bisa terdesak dan banyak mengalami luka, jika bukan pada akhirnya saya kalah. Saya harus segera mencari siasat !". Gumam saya dalam batin. Saya tiba-tiba melihat tumpukan kemasan barang yang berat dan tinggi sekitar 6 m. Tumpukan barang itu agak miring yang kalau saya tendang dengan kekuatan penuh barang itu akan roboh dan jika terkena orang di bawahnya kemungkinan besar akan mati.
Beberapa saat kemudian saya giring Ali dan Husein ke dekat tumpukan barang itu, namun tiba-tiba Simin perempuan Syiah Iran yang cantik nan anggun itu mendekati kami. Simin meminta Ali dan Husein untuk tidak melanjutkan pertengkarannya dengan saya. Ia lalu mengingatkan bahwa sesama muslim adalah ibarat jari jemari tangan yang satu sama lain saling terkait. Satu jari terpotong maka jari lainnya akan merasa kesakitan. Sesama muslim itu bersaudara.
Ali dan Husein tersadarkan diri, mereka menatap mata saya dalam-dalam lalu membuang pisau belatinya dan merangkul saya. Mereka satu persatu meminta maaf pada saya sambil menitikkan air mata. "Badanmu tidak sebesar kami, namun nyalimu besar. Saya tak mengira ternyata orang Sunni juga pemberani. Tahukah kamu saudaraku, sesungguhnya ketika mata kami melihatmu yang kami lihat adalah orang Sunni yang selama ini berkiblat pada Arab Saudi. Kalian selalu bilang kita semua sesama muslim adalah bersaudara, namun kalian selalu membiarkan bahkan mengganggu kami saat berperang melawan Israel. Karena itulah kami sangat membenci orang Sunni sepertimu. Namun detik ini kami menyaksikan keberanianmu. Keberanian seorang pemuda Indonesia yang jelas sangat berbeda dengan para pengecut dari Saudi Arabia. Kau seharusnya bersama kami melawan Israel di Palestina ! Maafkan kami saudaraku". Ali mengakhiri kata-katanya.
Waktu istirahat siang pun datang dan mereka meminta saya untuk menjadi imam Sholat Dluhur. Di waktu ashar pun demikian, kami sholat berjamaah, bedanya kali ini Ali yang kami tunjuk sebagai imam Sholat Ashar. Saya dan teman-teman dari Yordania yang Sunni, serta Husein dari Lebanon dan Simin dari Iran yang Syiah pun sholat berjamaah dengan tertib. Tak ada sedikitpun perbedaan tatacara sholat disana. Al Quran yang selalu dibawa Simin, Ali dan Husein yang Syiah, ternyata juga sama dengan Al Quran yang saya dan Khalid serta teman lainnya dari Yordania yang Sunni bawa. Tidak ada perbedaan apapun.
Hari berganti hari, dan saya semakin tertantang untuk mengenali lebih jauh kehidupan orang-orang Syiah. Setiap hari Jumat, saya yang biasanya sholat di Masjid komunitas Mahasiswa Indonesia mulai berganti-ganti tempat. Kadang saya Sholat di Masjid Sunni kadang saya Sholat di Masjid Syiah. Saya dan orang-orang Syiah suka berteman dan ngaji Al Quran bareng, tak ada bedanya dengan Sunni, kecuali sholat sunnah orang Syiah yang saya anggap terlalu banyak rakaatnya. Namun jika sholat wajib tak ada bedanya.
Dan ini kisah yang terpenting dan teringat selamanya hingga kini: Suatu ketika saya sholat di Masjid Turki, Mevlana Mosche namanya. Saat saya mengakhiri sholat saya melihat Simin, perempuan Syiah Iran yang mengamati saya dari jauh. Rupanya ia habis pulang kuliah dan mampir sholat ke Masjid. Kamipun bertemu kembali dan bertukar cerita dengannya hingga langit Berlin gelap gulita. Katanya:"Dulu saya ketika kecil hidup harmonis dengan keluarga secara lengkap. Kami makan bersama setelah sholat Maghrib. Namun tiba-tiba rumah kami dirudal pesawat tempur Israel. Ayah, ibu, kakak dan adik saya mati syahid, hingga saya diurus Pemerintah Iran dan disekolahkan hingga sekarang. Saya kalau melihat Saiful, saya jadi teringat kakak saya".
Saya terharu dengan kisahnya, dan saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa jika saya pulang ke Indonesia saya akan menjadikan cindera mata persahabatan saya dengan Muslimah Iran (Simin) ini, sebagai spirit untuk mempersatukan sahabat-sahabat saya yang masih mempertentangkan Islam Sunni dan Syiah. Kita semua bersaudara... Wallahu a'lam bissawab...Wassalam...(Saiful Huda E).
Komentar
Posting Komentar